Nasib Keluarga Bermarga Indonesia

18.38

Jika Negara diibaratkan sebuah keluarga, kira-kira pembagian perannya seperti berikut ini; Pemerintah adalah ‘bapak’ nya. Tugas seorang bapak ya menjadi kepala keluarga, termasuk di dalamnya menentukan visi misi keluarga,  membuat aturan-aturan dalam  keluarga, memastikan keamanan keluarganya dan lain sebagainya. Lalu yang menjadi ‘ibu’ tentu saja ibu pertiwi, seluruh wilayah Negara termasuk daratan, lautan dan langit yang menyediakan ‘makanan’ bagi keluarga, dalam hal ini sumber daya alam. Lalu rakyat adalah ‘anak’ yang juga memiliki potensi untuk menjadi ‘bapak’ bagi Negara.

Lalu bagaimana dengan ‘Keluarga Indonesia’? Sekarang ini Indonesia terlihat sebagai keluarga yang kacau, semrawut, amburadul,  atau apalah namanya. Coba kita tengok si ‘bapak’. Tak bisa dipungkiri bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat parah korupsinya. Menurut survey yang dilakukan oleh transparency.org awal tahun ini, Indonesia menempati urutan ke-5 negara terkorup di dunia, berada di bawah Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia dan Kamerun. Sementara di Asia-Pasifik, Indonesia menempati urutan pertama. Benar-benar prestasi yang luar biasa…..Luar biasa mengharukannya.


Seperti kita ketahui bahwa penerimaan Negara ini sangat tergantung pada pajak. Bahkan secara persentase, setidaknya pajak memenuhi kurang lebih 70% pos penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun belakangan. Pengertian pajak sendiri adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum (Wikipedia.org). Untuk mencapai kesejahteraan umum saudara-saudara!!! Tapi pada kenyataannya, dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia tersebut tidak sedikit yang malah masuk ke dalam kantong para elit pemerintahan korup. Proyek-proyek strategis yang didanai APBN seperti pembangunan jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya sering menjadi bancakan para koruptor ini. Pembangunan jalan misalnya, anggaran banyak disunat dan masuk kantong pribadi. Akibatnya kualitas jalan sangat buruk dan cepat sekali rusak. Coba tengok jalan di jalur pantura yang selalu rusak tiap tahun tanpa ada solusi yang berarti. Palingan hanya tambal sulam saja. Lalu yang masih hangat, melibatkan salah satu elit parpol dan menteri. Ya, Proyek Hambalang yang menurut BPK kerugian Negara diakibatkan oleh proyek tersebut mencapai 243,6 Miliyar rupiah.  Ini kan seperti ‘bapak’ yang minta setoran dari ‘anak’ dengan alasan untuk didistribusikan manfaatnya (dari yang kaya kepada yang miskin agar merata), tapi malah masuk kantong si ‘bapak’ sendiri. Belum lagi kebijakan yang menyakiti hati ‘anak’ seperti benerin WC kantor si ’bapak’ dengan anggaran yang tidak masuk akal, piknik ke luar negeri dengan alasan study banding. Si ‘anak’ cuman bisa gigit jari, boro-boro diajak, dibeliin oleh-oleh aja tidak.

Masalah dalam keluarga bermarga Indonesia tidak sampai di situ saja. Sebagian besar ‘anak’ dalam keluarga ini belum cukup dewasa untuk mengerti kata toleransi. Berkelahi satu sama lain karena perbedaan suku, agama, bahkan klub sepakbola yang dipuja. Sungguh sangat ironis ketika semboyan “Bhineka Tunggal Ika” hanya menjadi pajangan dan kata-kata tak berarti dalam buku pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Menyedihkan ketika melihat sebuah organisasi massa dapat bertindak seenaknya, bahkan melakukan tindakan melanggar hukum namun tidak ada tindakan tegas dari pemerintah. Sungguh mengharukan melihat sekelompok umat beragama (yang diakui secara resmi oleh negara) tidak bisa beribadah karena izin tempat ibadahnya dicabut tanpa alasan yang jelas. Dalam keadaan seperti ini diperlukan peran sang ‘bapak’ lah untuk mendamaikan ‘anak-anak’nya yang sedang berkelahi, menghukum ‘anak’ yang bertindak melampaui batas serta mengajarkan pentingnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari. Namun pemerintah seperti tidak peduli, bisa dibilang pemerintah mendukung impunitas. Beberapa hari yang lalu keluar penyataan yang kontroversial dari Menteri Agama. Beliau menilai bahwa banyaknya konflik antaragama yang terjadi di Indonesia adalah suatu kewajaran. “Coba tunjukkan kepada saya Negara yang paling maju dan masyarakatnya paling beradab di dunia ini, dimana? Ayo tunjukkan Negara yang tidak ada konflik sedikitpun. Tidak ada!” kata Beliau (sumber). Sungguh sangat disesalkan bagaimana sikap seorang menteri yang juga bagian dari pemerintahan bersikap cuek seperti itu. Seperti seorang bapak yang ketika anaknya berantem bilang, “Ah, namanya juga anak-anak, wajar kalo berantem, maklumin aja”. Tapi kalau sudah sampai menghilangkan nyawa dan melanggar hak asasi seseorang, apakah hal itu masih bisa dianggap wajar?

Lalu bagaimana dengan sang ‘ibu’? Nampaknya si ‘ibu’ adalah pihak yang paling menderita dalam keluarga ini. Bagaimana tidak? Si ‘bapak’ dengan senang hati mempersilahkan orang asing menggauli si ‘ibu’. Memperkosanya habis-habisan. Siapa yang tak tahu bagaimana PT Freeport menjarah kekayaan alam Papua sejak tahun 1967 (sesaat setelah lengsernya Soekarno yang keras menentang investasi asing).  Dari awalnya tembaga, kemudian sekarang emas yang dieksploitasi. Kabarnya PT Freeport akan segera menutup tambang emas terbuka Grasberg Papua, yang merupakan tambang emas terbuka terbesar di dunia. Sebagai gantinya Freeport akan mulai mengekpsploitasi tambang bawah tanah Grasberg yang konon juga akan menjadi tambang emas bawah tanah terbesar di dunia dengan produksi 200.000 ton material per hari. Freeport saat ini membayar royalti untuk tembaga dengan kisaran dari 1,5 persen sampai 3,5 persen dan persentase tetap sebesar 1 persen untuk emas dan perak. Pada tahun 2007, pendapatan yang dilaporkan Freeport USD 5.13 Milyar. Pajak yang dibayar hanya USD. 1.3 milyar dan royalti USD 133 juta. Berapa keuntungan PT. Freeport tahun 2007 itu setelah dipotong pajak dan royalti ? USD 3.234 juta atau Rp. 29 triliun!!! (sumber).

Si ‘anak’ pun tidak kalah kurang ajarnya kepada ‘ibu’. Pada bulan Juni kemarin, terjadi kebakaran hutan hebat di Riau. Bahkan kabut asap yang dihasilkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Kebakaran ini selain disebabkan oleh faktor alam, diduga juga diakibatkanoleh praktik-praktik pembersihan atau pembukaan lahan oleh masyarakat dengan cara pintas, yakni dengan melakukan pembakaran. Data yang ada menunjukkan kebakaran lahan di Riau melanda sekitar 1.000 ha lahan. Sekitar 80% wilayah yang terbakar merupakan wilayah perkebunan dan pertanian, sedangkan 20% sisanya merupakan wilayah hutan (sumber).
Sementara itu, sebuah kabar menyedihkan datang dari Aceh. Baru-baru ini jejaring social facebook dan twitter diramaikan oleh foto mayat seekor gajah dengan kepala hancur dan belalai yang sudah dipotong dan teronggok di dekatnya. Baru diketahui gajah tersebut adalah seekor gajah bernama “Si Genk” yang dibantai di Desa Ranto Sabon, Sampoiniet Aceh Jaya. Gading dari gajah tersebut raib. Bisa dipastikan pembantaian ini dilakukan untuk mendapatkan gading gajah yang berharga paling murah 2,5 juta per kg nya. Benar-benar menyedihkan melihat para manusia yang bertindak melampaui batas.

Lalu apakah sudah tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan ‘Keluarga Indonesia’ ini? Saya pribadi pun belum bisa menawarkan solusi berbagai masalah pelik yang menimpa negeri ini. Tapi sebagai salah seorang ‘anak’ dari Indonesia, yang bisa saya lakukan sekarang hanyalah berusaha menjadi ‘anak’ yang baik dengan membayar pajak dan berharap pengelolaan keuangan Negara akan semakin membaik, menghormati masyarakat lain dan menghargai setiap haknya serta menjaga keseimbangan lingkungan dengan tidak menambah sampah yang sudah terlalu banyak mengotori bumi ini.


You Might Also Like

0 komentar

INSTGR!