Sedekah Untuk Bumi

21.33


Beberapa waktu yang lalu saya berhasil mengkhatamkan novel ‘Supernova : Partikel’ karangan Dewi Lesari. Buku tersebut berhasil saya selesaikan dalam waktu kra-kira semingguan, termasuk waktu yang cepat bagi saya yang biasanya butuh waktu sebulan lebih untuk menyelesaikan novel 300 halaman :P. Jangan salah sangka dulu, saya tidak bermaksud mereview novel tersebut di sini. Saya kira sudah banyak review mengenai novel tersebut, jadi tidak perlulah saya nambah-nambahi.  Namun tulisan saya kali ini masih ada sedikit hubungan dengan novel tersebut.


Bagi anda yang sudah baca ‘Partikel’, mungkin anda ingat kata-kata Firas, ayah dari Zarah, sang tokoh utama yang kira-kira bunyinya begini : “Manusia adalah kanker bagi bumi” (saya sendiri tidak begitu ingat di bagian novel sebelah mana kalimat tersebut muncul). Begitu membaca kalimat tersebut, saya sediki tersentak. Ada sensasi mak-jlebb  di dalam dada. Mata saya masih lanjut membaca novel, tapi pikiran saya melayang-layang. Kalimat tersebut berhasil memaksa saya untuk berfikir. Ada sedikit rasa tidak terima, namun lama kelamaan pikiran saya membenarkan pernyataan itu. Seketika itu juga saya merasa kecewa, sedih, jengkel, dsb. Pokoknya saya marah. Marah sama MANUSIA!

Sampai saat ini pun saya masih marah. Bagaimana tidak, kemarin saja pas saya naik kendaraan umum dari luar kota, saya disuguhi serangkaian perbuatan manusia yang benar-benar mengerikan. Kendaraan baru saja bejalan, penumpang yang duduk di depan saya tiba-tiba membuka jendela dan melempar tisu bekas sekenanya. Selang beberapa saat ibu-ibu di kursi sebelah melempar botol air mineral kosong lewat jendela. Berikutnya mulai dari bungkus permen, kantong plastik penuh muntahan dan sejenisnyaa terlempar keluar kendaraan. Entah jatuh kemana tidak ada yang peduli. Saya benar-benar merasa jengkel waktu itu dan saya semakin meyakini kalau manusia adalah kanker bagi bumi.

Kalau dianalogikan, si manusia kanker bumi (manusia yang punya kebiasaan merusak alam baik disadari maupun disadari, mulai dari membuang sampah sembarangan, membunuh satwa langka,  pembalakan liar, dsb) itu tidak jauh beda dengan koruptor ataupun maling residivis. Bagi yang belum tahu, koruptor itu orang yang memanfaatkan uang negara untuk kepentingan pribadi, intinya maling tapi yang dirugikan hampir seluruh masyarakat. Nah, biasanya koruptor ini sudah tidak peduli apakah perbuatannya berdosa ataupun merugikan banyak pihak. Sama halnya dengan manusia yang buang sampah sembarangan. Orang yang suka buang sampah sembarangan menganggap perbuatannya adalah sesuatu yang biasa dan tidak ada yang salah dengan apa yang dia lakukan. Dia biasanya tidak sadar/tidak peduli kalau perbuatannya itu mendzolimi dan merugikan alam. Bahkan bisa dibilang kalau perbuatannya lebih parah dari koruptor. Kalau koruptor kan cuma merugikan sesama manusia. Nah, kalau si pembuang sampah sembarangan ini selain merusak alam. perbuatannya juga berpotensi merugikan manusia (misalnya banjir gara-gara sungai mampet atau tanah longsor gara-gara pembalakan liar). Double Combo rusaknya. Dan saya sendiri termasuk sejenis orang yang melakukan pembiaran terhadap korupsi. Kata orang sih ‘Diam Berarti Pro’. Benar-benar manusia kompak koplaknya!!

Sorang novelis horror asal Amerika, H.P Lovecraft dalam karyanya mengambil gagasan bahwa alam semesta secara mendasar bertentangan dengan kepentingaan umat manusia. Kalau dihubungkan dalam konteks bahasan kali ini bisa diartikan bahwa hampir semua upaya manusia untuk mewujudkan keinginannya  cenderung merusak alam. Contoh kecilnya, dulu waktu jaman kuliah, kalau beli makan di warung padang saya lebih senang dibungkus/dibawa pulang. Karena kalau beli makan dibungkus biasanya nasinya lebih banyak daripada kalau makan di tempat. Dari segi ekonomi, saya berhasil menerapkan prinsip ekonomi, karena dengan membayar harga yang sama saya dapat nasi yang lebih banyak. Namun tanpa saya sadari ternyata saya juga berhasil menambah kerusakan lingkungan. Yang pertama adalah menghamburkan kertas, yaitu kertas pembungkus makanan saya tadi. Kalo misalnya sehari kita makan 1 kali dibungkus, sebulan kita menghabiskan 30 lembar kertas dan dalam setahun habis 360 lembar kertas. Seperti kita ketahui bahwa kertas berasal dari pohon. Berdasarkan Penelitian Tom Solder dari University of Maine Amerika Serikat.. dijelaskan bahwa tiap 1 pohon kayu keras (Hardwood) berdiameter 15-16 cm dan tinggi 12 m mampu menghasilkan 41.6 kg atau 12 rim kertas (1 rim=500 lembar) . Jadi dalam setahun saya menghabiskan kira-kira 0,7 m batang pohon dengan diameter hanya untuk bungkus nasi. Sedangkan hardwood mencapai ukuran yang dapat dimanfaatkan pada umur minimal 20-25 tahun. Itu belum termasuk bahan bakar dan komponen lain yang digunakan untuk memproduksi kertas. Kerusakan lingkungan yang kedua adalah sampah kamtomg plastik. Kantong plastic membutuhkan waktu 500-1.000 tahun untuk terurai dalam tanah. Plastik bisa dibakar, namun jika pembakaran tidak sempurna atau di bawah suhu 800C, diokson yang sangat berbahaya akan terbentuk. Selain itu, kertas pembungkus nasi juga sulit untuk di daur ulang karena mengandung plastic dan minyak. Kesimpulannya, untuk mencapai tujuan saya (dapet nasi yang lebih banyak dengan harga sama), saya menyia-nyiakan pohon dan energi serta menambah jumlah sampah yang ada di bumi. Itu baru urusan makan, belum yang lainnya.

Itu tadi baru contoh yang kecil dan simpel. Contoh yang lebih berbahaya saya temui ketika saya berkunjung ke tempat teman saya di Kabupaten sebelah. Disana banyak ‘mantan’ tambang emas yang sudah tidak dieksploitasi lagi.  



Salah satu bekas tambang emas yang terbengkalai


Penambangan emas yang dilakukan masih menggunakan metode semi tradisional. Para penambang masih menggunakan logam merkuri untuk mengikat dan memurnikan emas. Limbah yang telah bercampur dengan merkuri dibuang begitu saja ke sungai. Tindakan ini berdampak buruk pada lingkungan seperti perubahan kualitas air, sedimen, hewan air, dan vegetasi.

Saya terkadang heran. Manusia bisa begitu peduli terhadap sesamanya, bahkan terhadap orang yang tidak dikenalnya sekalipun, tapi pada saat yang bersamaan bisa begitu tidak peduli dengan lingkungan yang ditinggalinya dan sangat dikenalnya. Manusia bisa dengan mudahnya memberikan donasi untuk korban banjir di pulau seberang, tapi untuk membuang sampah pada tempatnya kok kayaknya susah banget. Manusia begitu bersemangat menjadi relawan evakuasi korban longsor di propinsi sebelah, tapi mungut botol plastik yang kebetulan terlihat dipinggir jalan saja tidak mau. Manusia bisa begitu bersimpatik pada korban perang di Negara nun jauh disana, tapi tidak mau ambil pusing pada efisiensi penggunaan air bersih dan listrik. Bukannya saya menyepelekan kepedulian terhadap sesama, tapi kalau bisa melakukan hal-hal yang besar, kenapa tidak dengan hal-hal kecil dan remeh? Pada titik yang rada ekstrim, saya menjadi males buat ngasih duit ke pengamen. Bukan karena sayang duit, tapi saya berfikir, kalo saya ngasih duit ke pengamen, tar paling-paling duitnya buat beli rokok, mencemari udara tuh. Belom lagi kalo bungkusnya dibuang ke sungai, trus bikin banjir (teori butterfly effect banget yak!).

Sebenarnya sedekah kepada lingkungan dapat dilakukan tanpa modal sedikitpun, bahkan tanpa tenaga sedikitpun, yaitu dengan menghilangkan kebiasaan kita yang cenderung merugikan alam. Contohnya, kalau makan di warung, sebaiknya tidak usah dibungkus. Kalau memang hobi dibungkus/dibawa pulang, sebaiknya anda menyisihkan sedikit uang untuk membeli kotak bekal, jadi bisa dipake berkali-kali. Contoh lainnya adalah dengan memencet tombol “TIDAK” di mesin ATM ketika muncul tulisan “APAKAH ANDA INGIN MENCETAK RECEIPT TRANSAKSI?”, latian eco-riding dan lain sebagainya. Saya yakin anda semua lebih pintar untuk membuat contoh. Intinya kalau memang belum bisa berbuat hal yang bermanfaat, hindarilah perbuatan yang merugikan. 

Satu lagi, bagi yang peduli dengan satwa langka bisa mampir kesini, mungkin anda bisa berperan serta dalam memperbaiki kesalahan manusia terhadap bumi.

You Might Also Like

0 komentar

INSTGR!